Riwayat Hidup Imam At-Tirmidzi

Gambar : androidappsapk.co

Riwayat hidup Imam At-Tirmidzi
Oleh : Dikri Hamzah Amin
A.   Nama dan Tempat Tanggal Lahir
Imam Tirmidzi nama lengkapnya adalah Abu Isa Muhammad bin Isa bin Tsawrah bin Musa bin al-Dhahak al-Sulami al-Bughi al-Tirmidzi. Muhammad Syakir menambahkan sebutan ad-Dharir dalam namanya karena Al-Tirmidzi mengalami kebutaan di masa tuanya.
Al-Sulami yang disematkan dalam namanya menandakan bahwa ia adalah Bani Sulaym, dari Qabilah Aylan dan Al-Bughi adalah nama desa tempat al-Tirmidzi wafat, yakni di Bugh dan dimakamkan disana juga.
Al-Tirmirdzi dikenal dengan sebutan Abu Isa, sebagian ulama tidak menyenangi sebutan itu, karena ada hadits yang mengatakan bahwa seorang pria tidak dibenarkan menggunakan sebutan atau nama Abu Isa(Ayah Isa), seperti kita ketahui bahwa Isa tidak mempunyai ayah.[1]
Namun Al-Qari memberi penjelasan, bahwa yang dilarang itu apabila nama Abu Isa sebagai nama asli, jadi jika hanya sebagai julukan maka tidak menjadi masalah. Hal ini sesuai kesepakatan sebagian ulama dan para pengarang untuk membedakan Imam al-Tirmidzi dengan Tirmidzi lain, karena ada beberapa ulama yang juga menggunakan sebutan al-Tirmidzi, seperti Hakim al-Tirmidzi (wafat 285 H).
Ada beberapa pendapat mengenai kapan dan dimana Imam al-Tirmidzi dilahirkan, pendapat pertama yaitu Syeikh Muhammad Abdul Hadi Al-Sindi mengatakan bahwa al-Tirmidzi lahir pada tahun 207 H/822 M. Pendapat yang kedua menyatakan Imam al-Tirmidzi lahir pada tahun 208 H/823 M dan wafat tahun 277 H/890 M atau dalam umur 68 tahun. Namun, pendapat tersebut kurang kuat. Lalu, pendapat ketiga mengatakan yaitu ulama terkenal seperti Ad-Dhahabi dan Al-Alamah bahwasanya Imam al-Tirmidzi lahir tahun 209 H/824 M dan wafat tahun 279 H/892 M. Al-Syakir mengamini itu, dan menyebutkan lebih jelas bahwa imam al-Tirmidzi wafat 13 Rajab 279 H/12 Oktober 892 M. Pendapat yang ketiga merupakan pendapat yang terkuat karena kesepakatan sebagian besar ulama terkenal kala itu.[2]
Mengenai tempat lahir, ada beberapa perbedaan juga. Pendapat pertama yang di teliti dari beberapa naskah oleh Ahmad Syakir disimpulkan bahwa Imam Al-Tirmidzi lahir dan wafat di desa Bugh. Namun, banyak juga pendapat yang mengatakan di kota Tirmidz, karena Bugh dan Tirmidz itu berdekatan.
B.   Masa Belajar, Guru-guru, dan Murid-muridnya
Al-Tirmidzi sejak remaja telah belajar dengan guru-guru di kampugnya. Adapun perjuangan dan pengembaraannya dalam mencari ilmu, yaitu :
1.      Di Khurasan berguru pada Ishaq bin Rahawayh,
2.      Di Naysabur berguru pada Muhammad bin Amru Al-Sawaq,
3.      Di Iraq berguru pada ulama hadits dan Hafidz disana,
4.      Di Hijaz berguru pada ulama Hijaz.
Menurut al-Khatib al-Baghdadi, diperkirakan Imam al-Tirmidzi belajar lebih dari 35 tahun. Al-Tirmidzi berguru secara langsung dengan guru-gurunya, yaitu :
1.      Ali bin Al-madani di Samara (234 H/848 M),
2.      Muhammad bin Abdullah al-Kufi (234 H/848 M).
Imam al-Tirmidzi juga belajar dengan murid-murid dari Syeikh-syeikh terkenal yang telah wafat sebelumnya.[3]
Ada 9 orang guru yang sama, yang menjadi sumber riwayat hadits dari imam yang enam.[4] Guru-guru itu adalah :
1.      Ibnu Bandar (252 H),
2.      Muhammad bin Mushanna (252 H),
3.      Ziyad bin Yahya (254 H),
4.      Abbas bin Abdul zhim (246 H),
5.      Abu Said Al-Asyah (257 H),
6.      Abu Hafs’ Umar bin Ali (249 H),
7.      Ya’qub bin Ibrahim (252 H),
8.      Muhammad bin Ma’mar (256 H),
9.      Nashr bin Ali (250 H).
Diantara murid Imam al-Tirmidzi yang termashur, ialah :
1.      Abu Bakr Ahmad bin Ismail as-Samarkandi,
2.      Abu Hamid Ahmad bin Abdullah al-Marwazi al-Tajir,
3.      Ahmad bin Ali al-Maqari,
4.      Ahmad bin Yusuf al-Nasafi, dan lain-lain.
C.   Mobilitas, Aktivitas dan Hasil Karyanya
Pengembangan hadits umumnya ditandai dengan majlis ta’lim, hafalan, perlawatan, penulisan, pengembangan ulumul hadits, penerimaan dan penyampaian serta mendiskusikan hadits. Imam Tirmidzi telah melakukan semua itu.
Imam Tirmidzi hidup semasa dengan Imam besar dalam hadits, yaitu Al-Bukhari. Ia pernah berguru pada Al-Bukhari dan juga pernah belajar bersama-sama pada beberapa orang syeikh kala itu.
Al-Mubarakfuri membuat catatan mengenai Imam al-Tirmidzi, sebagai berikut :
1.      Imam al-Tirmidzi adalah salah seorang Imam yang telah melawat ke beberapa negeri, untuk melihat dan mendengarkan hasil karya dan pemikiran ulama lain.
2.      Imam al-Tirmidzi mendengar hadits dari beberapa ulama terdahulu dan ulama yang satu generasi dengan beliau, termasuk pada Imam Bukhari.
3.      Imam al-Tirmidzi mendengar hadits dari Imam Muslim tapi hanya satu hadits yang ditulis dalam Jami’-nya.[5]
4.      Imam al-Tirmidzi hanya meriwayatkan dua hadits dari al-Bukhari.[6]
Pada masa itu pengaruh madzhab sudah memasyarakat dan telah berkembang pesat. Perkembangan itu sangat mempengaruhi pribadi Imam al-Tirmidzi, sehingga ia menuntut ilmu pada guru-guru terkenal dan beberapa aliran madzhab.
Dengan kondisi al-Tirmidzi belajar beberapa aliran madzhab itulah, sehingga adikaryanya al-Jami al-Shahih mampu merekam ilmu pengetahuan yang bersumber dari beberapa imam madzhab. Bahkan, Dr. Nuruddin menyebutkan bahwa al-Tirmidzi adalah ulama ahli perbandingan madzhab.
Al-Mubarakfuri melukiskan Imam al-Tirmidzi adalah seorang mujtahid nama tidak mujtahid muthlaq seperti Abu Hanifah. Ia condong kepada mujtahid murajjih.
Hasil karya Imam al-Tirmidzi antara lain :
1.      Kitab al-Jami’ al-Shahih disebut juga sunan al-Tirmidzi.
2.      Kitab al-Ilal al-Shaghir.
3.      Kitab al-Ilal al-Mufrad atau al-Ilal Kabir.
4.      Kitab al-Zuhd.
5.      Kitab al-Tarikh.
6.      Kitab al-Asma al-Shahabah.
7.      Kitab al-Asma wal Kunya.
8.      Kitab al-Atsar al-Mawqufah.
9.      Kitab al-Syama’il al-Muhammadiyah.

D.   Penghargaan ‘Ulama’ terhadap Hasil Karyanya
Banyak pengakuan atau statement terhadap Imam al-Tirmidzi atas usahanya mengembangkan hadits, fiqh dan ilmu-ilmu agama pada umumnya, antara lain :
1.      Al-Hafizh ‘Alim al-Idrisi, “Ia seorang dari para Imam yang memberi tuntunan pada mereka dalam ilmu hadits, ia seorang contoh dalam hafalan”.
2.      Ali bin Muhammad, “Imam al-Tirmidzi salah seorang Imam yang memberi tuntunan kepada mereka dalam ilmu hadits”.
3.      Al-Mizzi, “Ia adalah seorang imam hafizh, yang mempunyai kelebihan, yang telah Allah manfaatkan bagi kaum muslimin”.
4.      Mubarak bin Atsir,”Dia adalah salah seorang dari para Ulama hafiz yang terkenal, padanyalah terjadi pembangunan fiqh”.
5.      Adz-Dzahabi, “Ia disepakati sebagai seorang yang terpercaya”.
Disamping banyaknya pengakuan yang bernilai positif tentang al-Tirmidzi, namun ada juga yang mengkritiknya, seperti Muhammad Abu Rayyah. Ia mengatakan al-Tirmidzi menulis hadits dalam kitabnya tidak hanya yang shahih, tapi ada juga hadits dhaif, gharib, dan munkar.
Ada juga kritikus Muhammad bin Sa’id, ia mempertanyakan mengapa al-Tirmidzi menggunakan jalur sanad yang masih diragukan kejujuran perawinya, sedangkan ia mengetahui sanad yang lebih tinggi.[7]
Dari kritikan-kritikan tersebut bisa menjadi bahan kajian untuk ulama masa kini. Sehingga dimungkinkan mendapatkan kebenaran yang lebih mendasar.



Resensi Buku
Judul                : Al-Imam Al-Tirmidzi peranannya dalam pengembangan Hadits dan Fiqh
Penulis             : Ahmad Sutarmadi
Penerbit           : PT Logos Wacana Ilmu
Tempat terbit   : Jakarta
Tahun terbit     : 1998

 Dalam buku ini menjelaskan mengenai Imam al-Tirmidzi dari mulai biografi, latar belakang, rekam jejak hidupnya dan karya-karyanya. Semua itu dipaparkan dengan jelas meski sedikit sulit untuk difahami. Jika kita lihat dari segi literatur bacaan, penulis buku ini termasuk yang memiliki cukup banyak literature bacaannya. Sehingga, banyak perbandingan di dalamnya untuk mengambil pendapat mana yang paling kuat. Penulis bisa dikatakan serius dalam menulis buku tersebut, karena beliau banyak menyertakan footnote yang bisa menjadi rujukan tambahan apabila dalam bukunya terdapat penjelasan yang kurang jelas atau kurang di mengerti. Hal tersebut menjadi kelebihan buku ini.
Di samping kelebihan yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa kekurangan yang saya rasakan setelah membaca buku ini. Pertama, dalam buku ini terdapat redaksi pembahasan yang kurang sistematis, sehingga menyebabkan sedikit sulit dalam memahaminya. Kedua, pemaparan atau penjelasan buku ini tidak dibuat sederhana atau bisa dikatakan rumit dan menyebabkan saya sebagai pembaca kesulitan untuk memahaminya. Namun, secara keseluruhan sebagai pembaca saya cukup menikmati gaya penulis dalam menulis buku ini.





[1] Larangan itu sesuai dengan sabda rasul “Inna ‘Isa Laa Aba Lahu” yang artinya sesungguhnya Isa tidak mempunyai bapak, Lihat Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al-Tirmidzi Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 50.
[2] Ulama terkenal yang dimaksud kala itu seperti Al-Hafidz Al-Mizzi dalam Al-Tahdzib, Ad-Dhahabi, Ahmad Syakir, dan Dr. Nuruddin, Lihat Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al-Tirmidzi Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 53.
[3] Syeikh-syeikh yang terkenal itu antara lain, Ibrahim bin al-Munzhir al-Madani (63 H), Muhammad bin Amru al-Sawaq(36 H), dan Muhammad bin Ghilan(39 H), Lihat juga Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al-Tirmidzi Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 60.
[4] Enam Imam yang dimaksud antara lain, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’I, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, Lihat juga Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al-Tirmidzi Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 62.
[5] Redaksi hadits tersebut ialah “Hitunglah bulan Sya’ban untuk menentukan bulan Ramadhan”, Lihat Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al-Tirmidzi Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 65.
[6] Hadits yang pertama, “Engkau tidak memotong pohon kurma atau membiarkannya tetap tegak pada pohonnya” dan yang kedua, “Ya Ali! Seseorang tidak boleh menjauhi masjid ini, kecuali saya dan kamu”, Lihat juga Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al-Tirmidzi Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 66.
[7] Ketika al-Tirmidzi mengambil hadits dari perawi yang diragukan haditsnya, ia biasanya menyertakan kelemahan-kelemahannya, Lihat Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al-Tirmidzi Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 83.


Comments

Post a Comment